Mengenal Pour Over dan V60

Buih-buih kecil meletup dari serbuk kopi basah. Asap tipis meliuk-liuk meruap. Harumnya menguar. Wanginya toksik benar. 

Setelah menunggu 45 detik, saya tuangkan lagi air panas dari ketel berleher panjang mirip angsa itu. Bubuk gelap kecoklatan agak kasar yang tadi hampir mengering, kini kembali terendam.

Saringan kertas putih yang melapisinya pun tambah lepek, menonjolkan alur dinding dalam dripper (wadah kerucut mirip cangkir) plastik berwarna merah.

Tuangan kedua ini sedikit lebih lama. Setidaknya makan semenit lebih, dibandingkan pertama.

Eits… belum selesai. Saya taruh ketelnya dahulu. Masih ada tahapan selanjutnya. Yaitu mengaduk pelan genangan larutan kopi tiga kali pakai sendok makan.

Habis itu, wadah dan teko kaca perlu diangkat bareng, diputar-putar lembut, dan taruh kembali di atas timbangan dapur. Tinggalkan sebentar. Diamkan. Tunggu sampai airnya menyusut.

Daaaaan….voilaaa….Seduhan kopi kini sudah siap dinikmati.

Bagaimana rasanya? Hmmm… Sebentar, sebentar. Saya copot dahulu cangkir kerucutnya dari atas teko. Tuang air kopi ke dalam gelas kecil. 

Slurrrppp….aaaah... Lumayan. Mungkin tidak sempurna. Tapi buat saya, cukup sedap rasanya.   

===

Buat yang masih bingung, saya barusan menyeduh kopi. Cara yang saya gunakan disebut pour over atau filter brewing. Bisa dikatakan juga sebagai metode V-60 (yang ini merujuk alat seduhnya dan akan saya jelaskan secara singkat nanti). Teknik ini satu dari sekian banyak cara seduh kopi baru yang sedang saya pelajari. Buat yang belum mencoba, mungkin terkesan ribet. Padahal…iya juga sih… (Hehe…Nggak deng...Coba saja jajal).

Cara seduh pour over konon sudah dikenal sejak lama. Tidak hanya dipraktikan pegiat kopi profesional macam barista saja. Pengopi rumahan juga. Saya di antaranya. Walau tergolong telat. Saya baru coba mengenalnya setahun setengah lalu. Sebelumnya tahu sepintas saja, dari nongkrong di cafe (meski jarang) atau teman.

Maklum, sejak remaja saya kadung akrab kopi tubruk atau sasetan. Sasetan paling gampang. Cukup sreeet…buka plastiknya, tuang bubuk ke gelas, siram air panas, aduk pakai sendok, minum deh. Bukan bermaksud sombong (tapi congkak), belakangan kopi sasetan jarang saya minum. Meski sesekali, diteguk juga sih, dalam beberapa jamuan.

Saya kebetulan belajar cara seduh baru, seperti di awal tulisan ini, dari James Hoffman. Dia bisa disebut pandai kopi. Asalnya dari Inggris dan pernah juara World Barista Championship pada 1997. Pria jangkung berkaca mata ini juga menulis buku The World Atlas of Coffee. Belakangan dikenal pula sebagai influencer. Akun Youtubenya punya 671 ribu subscriber.   

Nah, dari situlah saya teh berguru ke Hoffman. Maksudnya via Youtube yap. Bukan tatap muka langsung. Lebih tepatnya tatap layar, lewat hape atau laptop. Dia bicara, saya melihat dan mendengarkan. Saya juga sempat membaca bukunya. Dia tidak kenal saya. 🙂

Apa Itu Pour Over?

Menurut buku Kang Hoffman, pour over adalah penyeduhan yang menerapkan prinsip perkolasi. Perkolasi bahasa lainnya penyaringan. Sesuai namanya, dilakukan dengan menuangkan air panas ke serbuk kopi yang sudah ditaruh dalam saringan.

Penyaringnya bisa berbahan kertas, kain, atau metal. Tujuan seduh ini melarutkan kopi tanpa mengajak ampas atau sisa bubuk. Tidak seperti metode lain–misalnya tubruk, bubuk kopi langsung dicampur air panas—yang menyisakan ampas di cangkir.

Penggunaan saringan mungkin ada sejak pertama kopi mulai diseduh. Tapis (bahan kain) katanya paling awal digunakan. Sementara, saringan kertas baru muncul abad 19 awal. Penemunya seorang Ibu-Ibu asal Jerman. Namanya Melitta Benz.

Alkisah, Melitta penyuka kopi serius dan selalu menyeduhnya setiap pagi. Namun, ia acap terusik dengan sisa serbuk di cangkir kopinya. Belum lagi peer banget buat bersih-bersih ampas dari pot tembaga yang digunakan memasak kopi tiap pagi.

Dari dapurnya di Dresden, Jerman, dia iseng coba-coba cara lain. Beberapa eksperimen dilakukan dan gagal. Sampai suatu hari, dia merobek kertas minyak dari buku catatan sekolah anaknya dan menjejejalkan ke pot tembaga yang dilubangi. Bubuk kopi kemudian ditaruh di atas kertas tersebut. Air panas dituangkan. Larutan kopi menetes melalui kertas, langsung ke cangkir. Kini dia tidak lagi repot dengan ampas. Buangnya mudah, kopi dalam cangkirnya juga lebih bersih.

Nah mulai dari situlah kertas filter menjadi salah satu peranti populer seduh manual pour over. Setiap barista rasanya pernah menggunakannya. Kalau kurang percaya, mungkin bisa mampir ke kedai kopi terdekat sampai warkop pengkolan di Amerika Serikat, tanyakan langsung. Jangan lupa jajan yah.

Saya sendiri cukup menggemari seduh kopi manual menggunakan kertas penyaring. Saya pakai berbarengan dengan dripper V60. Sempat juga sih belajar penyaring metal. Tapi belum sesering filter paper.

Dripper V60

Nah, seperti janji di awal, saya akan menjelaskan singkat mengenai V60. Namun, kalau boleh, kita mundur sedikit dahulu ke sejarah kertas filter.

Penemuan kertas filter pada 1990-an bisa dikatakan terobosan besar. Daaan..seperti halnya penemuan lain, ia ikut mendorong sejumlah inovasi baru. Salah satunya wadah atau dripper, yang fungsinya menampung kertas penyaring.

Ibuk Melitta sendiri awalnya disebut pakai kaleng tembaga berlubang sebagai tempat menaruh kertas minyaknya. Namun, setelah menciptakan kertas filter berdesain corong, ia juga mengembangkan dripper keramik berbentuk kerucut. Alat tersebut bisa duduk di atas cangkir atau poci.

Dripper pertama dipasarkan secara komersial disebut memiliki delapan lubang pada ujung bawahnya. Namun, mulai 1960, dripper satu lubang banyak dikembangkan. Tidak hanya oleh Melitta, juga perusahaan lain.

Hario termasuk di antaranya. Ia perusahaan Jepang yang berdiri 1921 dan awalnya fokus membuat gelas tahan panas untuk laboratorium. Sejak masuk pasar rumah tangga pada 1948, Hario mengembangkan penemuan lain. Salah satunya Glass Filter Coffee Syphon, alat seduh kopi bermetode pot vakum mirip peralatan laboratorium, pada 1949.

Pada 2005 barulah dripper kopi populernya dikenalkan. Namanya V60. Diambil dari desainnya yang mirip huruf “V” dengan kemiringan sudut 60 derajat. Yap, sesimpel itu. Yang menarik dari alat ini, ada desain alur menonjol tipis–mirip siluet angin puyuh–di dalamnya. Katanya membuat air mengalir baik selama proses perembesan.

Hario V60 pertama dikenalkan berbahan keramik dan kaca. Bahan plastik dan besi menyusul. Untuk menyeduh pakai alat ini cukup mudah. Dudukan alat ke atas gelas atau teko, taruh kertas filter berbentuk V ke corongnya, jejalkan bubuk kopi, tuangkan air panas, dan tunggu larutannya menetes ke wadah minum.

Hario V60 disebut-sebut mampu menghasilkan kopi sangat nikmat. Ia favorit banyak barista dan penyeduh kopi. Katanya sih berkat tiga hal:

1. Bentuk “V” –nya yang 60 derajat: memungkinan air mengalir ke tengah, memperlama waktu kontak serbuk kopi dengan air.

2. Satu lubang besar: memungkinan penyeduh memodulasi rasa dengan mengatur kecepatan aliran air dari tuangannya.

3. Alur spiral di dalam: memungkinkan udara keluar dan mengalur air secara baik saat proses ekstraksi kopi.

Sekadar catatan, dripper V60 bukan satu-satunya alat seduh pour over. Ada peranti merek lain seperti Chemex, Melitta, dan Kalita Wave. Katanya sih, kunci seduh di beberapa alat pour over tersebut bisa berbeda. Hasilnya pun beragam.

Saya sendiri masih menjelajahi V60. Belum terlalu akrab dengan alat-alat lain tadi. Namun, katanya, ada prinsip seduh yang berlaku untuk semua. Apa saja? Saya jelaskan nanti yes di artikel berikutnya. Ciaooo….

*Referensi: The World Atlas of Coffee, perfectdailygrind.com, nytimes.com, hario.com

Leave a comment